ubah kayu lapuk jadi jutaan
Jika Anda sedang bepergian melewati Bojonegoro menuju daerah Ngawi dan melewati Desa Geneng, Kecamatan Margomulyo, sepanjang perjalanan itu Anda akan disuguhi pemandangan halaman rumah warga yang dipenuhi tumpukan kayu-kayu. Ada yang sudah berbentuk indah, namun tak sedikit juga yang masih berupa kayu lapuk beraneka bentuk tak beraturan. Namun jangan salah mengira! Meski terlihat tak beranturan seperti itu, di tangan perajin Desa Geneng ini, kayu-kayu yang berasal dari akar pohon jati ini nilainya jutaan rupiah. Sentuhan tangan terampil mereka sanggup mengubah akar jati yang terlihat sudah lapuk dan tak berguna itu memiliki nilai jual yang menggiurkan. Di desa ini terdapat sekitar 75 orang perajin pengolah limbah akar kayu jati.
Dengan jumlah itu bisa dibilang mata pencaharian utama warga di desa ini adalah perajin akar kayu jati. Menurut, Yuli Winarno, Ketua Paguyuban Jati Aji, masyarakat di desa ini mulai menerjuni usaha ini di tahun 2001. Di awal berdirinya jumlah perajinnya tidak langsung sebanyak ini.
”Di tahun 2001 rumah penduduk di desa ini belum dari kayu seperti ini. Masih gedhek bambu semua. Bisa dimaklumi, mata pencaharian warga sekitar masih tani dan rengkek (pencari) kayu di hutan. Ketika itu ada sekitar 2 orang perajin yang secara tidak sengaja berhasil mengolah limbah akar kayu jati tadi menjadi barang kerajinan seperti ini. Terus di panjang di halaman depan rumah. Kebetulan jalanan depan rumah merupakan jalan raya yang dilewati mobil. Ada yang lihat terus dibeli. Lama-lama warga yang lainnya jadi tertarik untuk mengikuti jejaknya, menerjuni usaha ini. Akhirnya perekonomian warga desa bisa terangkat berkat usaha ini,” ungkap Yuli.
Di tahun 2001 itu pula pemerintah setempat melalui dinas perindustrian dan perdagangan memberikan pembinaan sehingga akhirnya berdirilah sebuah paguyuban. Karena produk kerajinan yang dihasilkan ini merupakan akar jati maka keberadaan paguyupan akan sangat mendukung kelancaran usaha ini. Sekalipun masuk kategori limbah namun dalam penjualannya tidaklah semudah seperti jual beli produk makanan ataupun hasil kerajinan pada umumnya. Setiap transaksi yang berjalan, antara penjual dan pembeli harus disertai surat jalan bagi truk pengangkutnya agar tidak disangka barang illegal. Karena biar bagaimanapun produk-produk tersebut tetap saja berasal dari kayu hutan sekalipun hanya limbah akarnya saja. Paguyuban yang mengurusi surat jalannya.
Pembeli produk-produk ini juga berdatangan langsung dari luar negeri. Tercatat Korea, Taiwan dan China adalah buyer yang kerapkali datang ke desa ini untuk bertransaksi jual beli. Sayangnya, meski ini merupakan produk unggulan dari desa Geneng yang masuk wilayah Bojonegoro – Jatim, namun untuk transaksi yang bertaraf ekspor tidak bisa dilakukan langsung atas nama desa ini. Kebanyakan pembeli luar negeri yang datang setelah bertransaksi jual beli dengan perajin langsung membawanya ke Jepara atau Yogyakarta untuk mendapatkan perijinan ekspornya.
”Itu yang menjadi kendala kami saat ini. Sebenarnya saya sudah berkali-kali mengusahakannya agar kami punya izin ekspor sendiri seperti Jepara ataupun Jogja. Saya sudah pernah menyampaikan permasalahan ini ke sejumlah pihak terkait tapi belum ada hasilnya. Kami inginnya produk kami ini tidak diakui oleh wilayah lain. Selain itu biar keuntungannya juga bisa dinikmati perajin sini. Sejauh ini sih perajin baru bisa puas menikmati kalau produknya laku terjual saja. Tapi keuntungan sebagai perajin yang produknya punya nilai jual ekspor belum bisa dinikmati. Selain itu produk kami juga jadi diklaim produk hasil wilayah lain
pula,” keluh bapak dua orang anak ini.
Dalam sehari, transaksi yang berlangsung bisa 3- 4 truk yang datang, dengan nilai taksiran sekitar 25 juta rupiah per-truknya. Yang menjadikan produk-produk dari Desa Geneng ini digemari oleh pecinta seni adalah bentuk desainnya yang natural. Jadi ketika akar jati sudah dibeli oleh perajin dari para pencari kayu hutan, tentunya seijin Perhutani, para perajin tidak banyak membuat desain baru pada akar kayu jati tadi. Menurut penuturan suami dari Muslifah ini, perajin lebih senang mempertahankan kenaturalannya. Sehingga akar kayu jati dari Bojonegoro yang eksotik menjulur ke sana kemari ini terlihat indah dan menjadi pesona di mata pembelinya. Perajin membiarkan akar-akar kayu jati tanpa mendesain bentuk baru lagi. Mereka hanya membersihkan saja bagian-bagian tertentu untuk mempertegas apakah itu meja atau kursi. Sedangkan bagian akarnya hanya di cuci supaya terlihat bersih dan tak ada tanahnya. Kesan alami inilah yang tampaknya menjadi daya pikat produk Desa Geneng tersebut.
”Selain umur akar jatinya ini sudah ratusan tahun, mungkin yang menjadikannya istimewa karena jati dari Bojonegoro itu warnanya sedikit merah kecoklatan. Beda dengan jati yang dari daerah lain. Hutan jati di Bojonegoro ini berada di daerah yang kering dan kurang air. Sehingga akar-akarnya harus bekerja keras untuk menembus tanah mencari air dan makanan untuk pertumbuhannya. Karena itu bentuk akarnya menghujam ke dalam tanah dan bergerak ke sana kemari. Makanya akarnya menjulur kemana-mana. Beda dengan akar jati yang berasal dari daerah subur dan cukup air. Warna jatinya putih dan akarnya nggak panjang panjang. Pohon jatinya jadi gemuk karena cukup air, beda dengan jati yang dari Bojonegoro ini,” lanjutnya.
Istimewanya lagi para perajin di desa ini tak ada yang lulusan seni rupa ataupun pendidikan setingkat menengah atas yang sekiranya bisa mendukung keterampilan mereka ini. Keahlian menciptakan aneka produk bercitarasa seni ini mereka dapatkan dari pengalaman bertahun-tahun dan bukan dari pendidikan formal. Bahkan menurut keterangan pria kelahiran Bojonegoro 5 Juli 1974 ini mayoritas perajin di desanya hanyalah lulusan SD saja. Meski terbilang menjanjikan untuk di masa yang akan datang namun kendala terbesarnya ketersediaan bahan baku akar kayu ini kini sudah tidak sepenuhnya berasal dari Bojonegoro lagi. Perajin di desa ini juga sudah mengambil akar jati dari daerah Nganjuk dan Tuban.
”Sebenarnya kalau untuk 10 tahun ke depan saja usaha semacam ini insya Allah masih bisa jalan terus. Memang akar jatinya tidak sepenuhnya dari Bojonegoro lagi. Sudah ada yang dari daerah lain. Ya itu nggak masalah juga. Kan yang penting usaha bisa terus berjalan meski akar jatinya bukan berasal dari hutan Bojonegoro lagi. Saat ini hutan-hutan di Bojonegoro sendiri sudah ada penanaman jati. Jadi untuk kedepan masih menjanjikan kok. Cuma kan nantinya barang produksi kami tidak seperti akar jati yang sekarang ini. Untuk saat ini akar jati kami usianya sudah ratusan tahun. Nah, akar jati yang baru nanti kemungkinan usianya nggak sampai ratusan tahun. Hanya hitungan puluhan tahun saja,” tutur Yuli.[ken]