Sentra brem desa kaliabu


 


Marsiyem kecil sudah akrab dengan panganan yang dinamai Brem tersebut. Panganan ndeso namun termasuk wah di masa itu. Hanya sedikit orang yang jajan dengan membeli Brem, pasalnya bagi wong ndeso bertemu nasi saja tidak menentu apalagi harus membeli jajanan yang tidak bisa bikin perut kenyang. Kendati begitu, di usianya yang masih belasan tahun, ia malah sudah mampu membuat Brem. Gurunya walau tidak secara langsung adalah Mbah Lurah Dusun Bodang. Sementara, Marsiyem sendiri tidak pernah tahu dari mana  Mbah  Lurah  mendapatkan ilmu membuat Brem tersebut dan mengapa pula dinamai Brem.


Dalam bahasa Jawa yang semanak, Marsiyem mengatakan, mungkin karena membuat panganan yang bahan utamanya adalah sari tape ketan ini harus diperam dulu selama tujuh hari tujuh malam sebelum diproduksi, maka nama brem lantas muncul begitu saja. Peram yang dilafal perem dalam bahasa Jawa secara fonetik tak jauh dari kata Brem. Marsiyem hanya mengingat, Mbah Lurah Dusun Bodang juga menyebutnya seperti itu. Marsiyem juga ingat, untuk kulakan bahan baku dan peralatan membuat Brem, harus menempuh perjalanan cukup jauh yaitu menuju ke Madiun. Tumpangannya adalah sepur kluthuk (kereta jaman Belanda berbahan bakar kayu, red) yang menyemburkan asap hitam pekat saat melaju, dan jika sudah turun dari sepur di hidung masing-masing penumpangnya akan menyumpal langes (jelaga) hitam.


Dari Dusun Bodang, Brem kemudian menyebar ke dusun-dusun lain di sekitarnya di wilayah Desa Kaliabu. Masing-masing adalah Dusun Sumberjo, Lemah Ireng, Tempuran dan Kaliabu. Di lima dusun di Desa Kaliabu tersebut, hanya Dusun Tempuran yang hingga kini masih memiliki perajin Brem paling banyak. Dusun-dusun lainnya sudah lama beralih profesi karena gerusan jaman. Mereka memilih bercocok tanam, atau bermigrasi ke kota Madiun dan kota besar Jawa Timur lainnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sedang Marsiyem, adalah segelintir generasi pertama yang masih setia mendampingi produksi panganan yang  bercitarasa  semriwing  nan manis ini.


 


Brem Beraroma


Setidaknya terdapat 47 perajin panganan Brem di seluruh Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun ini. Tujuh belas di antaranya bergabung dan membuat kelompok perajin dengan nama “Jaya Makmur”. Dikomandani Supiyati (39) dan ber-skretariat di RT 16 RW 4 Dusun Tempuran. Ia  merupakan penerus dari generasi Marsiyem, ibunya. Tak hanya jadi komandan perajin Brem, Supiyati juga seorang Kepala Dusun di Tempuran. Satu-satunya perempuan kepala dusun di Desa Kaliabu maupun se-Kecamatan Mejayan.


Tidak seperti di jaman ibunya, Supiyati sudah memodifikasi proses pembuatan Brem yang tradisional menjadi semi modern. Menggunakan peralatan listrik untuk beberapa tahapan proses. Hanya satu tahapan tradisional yang masih dipakai hingga kini, yaitu saat nguleni tape ketan yang sudah masak setelah diperam tujuh hari tujuh malam. “Proses ini sepertinya tak tergantikan, sebab kami masih percaya cara ini bisa membuat aroma brem jadi tambah sedap. Peralatan modern sudah ada, bahkan mungkin juga bisa dibuat oleh para perajin di sini, tetapi kami tidak melakukannya. Kalau untuk proses yang lainnya sudah dibantu mesin,” terang Supiyati yang sesekali dibenarkan ibunya yang sudah sepuh.


Dari semenjak brem dijajakan dikisaran tahun 50-an, lanjut Supiyati, untuk tahapan membuat Brem tidak ada yang berubah. Bahan baku tetap ketan. Ketan yang menyerupai beras itu direndam lebih dahulu lebih kurang setengah jam atau 30 menit. Dibersihkan sebelumnya hingga terbebas dari kerikil dan kotoran lainnya, kemudian dimasak atau dikaru hingga setengah matang. Baru setelah setengah matang diler atau didingingan di bidang yang lebar. Kalau panas sudah menguap yang artinya sudah dingin, ketan karon atau sudah setengah masak itu kemudian dikukus hingga satu jam atau 60 menit. Berikutnya diangkat, dan didinginkan kembali. Setelah benar-benar dingin baru memasuki tahap peragian. Perbandingannya 24 kilogram ketan masak, ragi yang dibutuhkan adalah 30 butir. Butir-butir ragi dihaluskan kemudian ditebar merata di atas ketan yang sudah masak tersebut.


Tahap berikutnya adalah proses fermentasi. Ketan yang sudah tercampur ragi ditempatkan di bak-bak khusus untuk diperam agar menjadi tape ketan. Waktu yang dibutuhkan idealnya adalah tujuh hari tujuh malam. Jika ragi yang dibubuhkan dari kualitas bagus, waktu selama itu bisa dipastikan sudah menghasilkan tape ketan yang benar-benar masak dan siap diproses jadi Brem. Selanjutnya tape ketan dimixer lalu diuleni dengan secara manual dengan tangan proses inilah yang sampai saat ini masih dipertahankan. Saat dimixer perajin Brem kadang membubuhkan  perasa  atau  esens,  seperti citarasa coklat, melon, strawberry, dll, tergantung pemesanan. Untuk mendapatkan rasa alami tape tentu tidak perlu membubuhkan perasa macam-macam. Setelah itu ditiriskan untuk diambil sari-sarinya.


Pada tahap akhir proses produk si Brem, muncul tape yang sudah berubah  wujud. Pertama  adalah sari-sari tape yang berbentuk cairan, yang kedua adalah ampas tape. Sari-sari tape itu kemudian direbus kembali sekitar ¾ jam hingga kenthel (mengental). Baru setelah itu diratakan  dalam  cetakan-cetakan Brem yang sudah disediakan. Biasanya cetakan melebar atau memanjang dengan ketebalan 0,5-1 cm. Setelah mengeras kemudian dipotong-potong menyesuaikan pesanan dan kemasan. Yang paling umum kemasan berbentuk persegi panjang dengan ukuran sekitar 10-15 cm panjang, sekitar 4-5 cm lebar dan ketebalan 0,5-1 cm. Sedangkan untuk ampas tapenya, biasanya dibeli para peternak untuk pakan sapi atau kambing.



Modal Berlipat


“Perajin  Brem  Kaliabu  rata-rata sejak dulunya menggunakan merk Suling di tiap produknya. Hanya nama di belakang merk Suling yang kadang-kadang menjadi identitas si perajin. Selain menggunakan merk sendiri, perajin juga menjual produknya tanpa merk. Sudah ada pengepul atau distributor yang akan mengambil dan melabeli produk tersebut dengan labelnya sendiri. Cara yang kedua ini malah cenderung disukai perajin. Pasalnya, mereka tidak perlu ribet untuk terjun langsung ke pemasaran. Cara ini dianggap cepat dan mudah untuk mendapat uang untuk menopang produksi dan biaya hidup. Menurut perajin, cara ini lebih efektif ketimbang membuang waktu dipemasaran, karena dengan memasarkan sendiri uang untuk modal produksi akan makan waktu lama bisa terkumpul,” ungkap Supiyati prihatin.


Keprihatinan inilah yang membuat Bu Kepala Dusun sejak tahun 2009 ini getol mengorganisir perajin Brem. Salah satu misinya adalah agar perajin Brem lebih berdaya dan bisa maju bersama-sama. Kendati kelompok perajin sekarang sudah berdiri dengan nama “Jaya  Makmur”, namun Supiyati mengaku belum bisa berbuat banyak. Dari 47 perajin yang ada, hanya 17 yang mau bergabung. “Tidak ada separuhnya. Meski hanya sebagian kecil, toh kita sudah merintis berdirinya koperasi. Ini sudah gol sebenarnya, hanya ada kendala di pengurusan sehigga koperasi tidak berjalan maksimal,” katanya.


Untuk memproduksi Brem hingga siap dipasarkan, setidaknya membutuhkan modal tiga kali lipat dari satu kali biaya produksi. Berlipatnya modal tersebut sangat berhubungan dengan bertahapnya proses produksi. Bisa dibayangkan, untuk menjadikan tape yang berkualitas saja membutuhkan waktu tak  kurang dari  seminggu penuh. Itu berarti modal berhenti cukup lama dalam satu tahapan proses. Menurut Supiyati, usahanya ini berproduksi 140 kg ketan per hari dengan jumlah pekerja 4 orang. Omzetnya tak kurang dari 1,5 juta rupiah. Untuk itu, agar setiap hari bisa berproduksi, minimal harus ada modal sekitar 5 juta rupiah sebelum Brem diserap pasar. Besaran modal ini, boleh jadi, yang membuat  perajin  Brem  menciut. Dari 5 dusun di Kaliabu, kini hanya terkonsentrasi di satu dusun yaitu Dusun Tempuran.


Modal  3X lipat itu akan bertambah berat manakala tantangan produksi tidak bisa dipecahkan. Misalnya, harga ketan naik membubung. Harga ketan yang naik biasanya diiringi dengan ketakjujuran penjual bahan baku. Tentu saja untuk meraup keuntungan yang tinggi dan mempertahankan pelanggan. Ketan bagus biasanya dicampur dengan ketan yang kualitas rendah, atau malahan ketan dioplos dengan beras yang bentuknya serupa. Yang akhirnya terjadi adalah, kualitas Brem menjadi tidak bagus. Rasanya menjadi tidak standar dan gampang  lembek. Kedua, kurangnya panas matahari akibat musim tak menentu seperti sekarang membuat Brem tidak pada kualitas yang sangat baik. Aroma gampang apek, dan warna Brem  menjadi  kurang  diminati Pasar. Nah! (widi kamidi)



Tags
Tidak ada tags