Perajin Bata Desa Klampisan Ngawi


Katimin, Kepala Desa Klampisan,kepada Gema Desa menjelaskan, potensi ekonomi Desa Klampisan sangat terbelakang jika dibandingkan dengan desa sekitar,yaitu Desa Kasreman dan Sidorejo. Pasalnya, hampir 50 persen penduduk Klampisan menggantungkan hidupnya dari pembuatan batu bata merah. Warga Klampisan tidak mempunyai sawah untuk ditanami padi, karena harga tanah di Klampisan tergolong mahal. Akibatnya,warga memilih menjadi buruh tani dan sebagian lain perajin batu bata,kerupuk dan pedagang sayur keliling.


“Warga kami banyak yang menjadi perajin batu bata. Dalam satu minggu perajin bisa mendapatkan untung Rp 7 juta. Keuntungan itu masih kotor sebelum dipotong utang modal kepada UPKu,” kata Katimin.


Dijelaskan Katimin, setiap perajin mendapatkan bantuan modal usaha dari pemerintah desa sebesar Rp 1-3 juta. Pinjaman itu dikembalikan dalam waktu sepuluh bulan dengan cicilan Rp 300 ribu per bulan. Bunganya hanya 1,5 persen, lebih kecil dari pinjaman di bank atau rentenir. “Kami ingin program bantuan modal usaha ini berlanjut. Alasannya, banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan modal untuk meningkatkan taraf  hidup,” kata Katimin.


Gempa Jogya


Mayoritas warga Desa Klampisan adalah perajin batu bata merah, karena struktur tanah dan mudahnya akses pemasaran. Maklum, jika punya modal besar usaha batu bata merah cukup menjanjikan. Salah seorang perajin batu bata merah adalah Suroso (54),  warga Desa Klampisan. Dia sudah menekuni usaha batu merah sejak 20 tahun silam. Usaha tersebut warisan dari orang tuanya.


“Kami buat batu bata modalnya pinjam dari UPKu. Setiap bulan kami harus cicil dari keuntungan batu bata merah. Setiap bulan kami bisa menadapatkan untung Rp 3 juta setelah dipotong biaya roduksi,”kata Suroso.


Menurut Suroso, usaha batu batu merah membutuhkan modal dan ketekunan, mulai dari mendesain tanah liat sampai proses pembakaran.Untuk membuat batu bata dibutuhkan minimal 10 hari dengan modal usaha rata-rata Rp 1,5 juta dengan jumlah 1 ribu biji batu bata. Perinciannya, harga batu bata setelah  proses pembakaran Rp 350/biji, sementara  harga jual Rp 500/biji. Nah, dalam 10 hari perajin batu bata rata-rata bisa memproduksi batu bata sebanyak 7 ribu biji. Kondisi tersebut bisa terlaksana jika musim kemarau tiba, sementara pada musim hujan perajin hanya bisa memproduksi batu bata 7 ribu per bulan, karena sulitnya mengeringkan tanah liat dan proses pembakaran.


“Kendala utama perajin batu bata adalah cuaca. Ketika musim hujan perajin biasanya banyak mengalami kerugian, karena batu bata sulit kering dan proses pembakaran butuh modal besar. Sementara untuk pemasaran banyak perajinbatu bata yang kualahan memenuhi pesanan,” akunya.


Dikatakan Suroso, ketika terjadi gempa bumi di Jogyajakarta tahun 2006 perajin batu bata Klampisan mengalami untung besar, karena banyak pesanan datang dari Jogya dengan harga tinggi. Para perajin harus kerja lembur untuk memenuhi pesanan.


Untuk pemasaran batu bata,kata Suroso, banyak tengkulak yang datang langsung ke Klampisan. Namun ada juga yang dikirim ke Nganjuk, Jombang bahkan Surabaya. Rata-rata setiap minggu ada tengkulak yang datang untuk membeli batu bata. Kesulitannya selama ini adalah SDM batu bata yang rata-rata sudah usia tua, sementara anak muda tidak mau melanjutkan usaha batu bata.


“Yang buat batu bata adalah warga yang sudah tua. Anak-anak muda Klampisan jarang sekali mau bekerja. Rata-rata mereka bekerja di luar negeri atau Jakarta. Penyebabnya keuntungannya kecil dan kotor,” terang Suroso.


“Sebenarnya Desa Klampisan bisa dikembangkan menjadi sentra batu bata, namun perlu dukungan dari pemerintah untuk menjadikan Desa Klampisan sebagai sentra,” terangnya. (ham)

Tags
Tidak ada tags